Sajak-sajak Pendek tentang Musim, Hujan, dan Kenangan π
Maka kuyakini engkau sebagai takdir; tempat segala desir mengalir-- hingga pemberhentian terakhir
Karena bagi musim air matamu adalah larik kesedihan, maka ijinkan aku menjadi setitik hangat bagi lebam lukaluka mu
karena engkaulah ombak bagi perahu sunyiku, menuntun kembara ini; menuju palung hatimu
halimun moksa di bukit rimba meninggalkan jejak embun, dan sebait kidung lirih tertinggal di basah daundaun
dan tenang malamku berhias debur rindu, serupa ombak yang meriak di kedalaman matamu
Dalam hening telaga pagi adalah altar suci, tempat doadoa menjelmakan diri; merupa puisi
Adalah pagi yang membisikkan embus doa pada geletar daun angsanaΠΌaka kucinta engkau dengan seluruh asa--tanpa sisa
Adalah kau, sebuah pagi dengan hening paling sunyi; tempat aku meletakkan segenap nyeri
Aku menemukan kilau senja di matamu yang surga; merupa jingga juga merah saga--bertabur wangi cinta
Di sela daun bambu kuning tua senja lesap di hening telaga; bersama kilau jingga mendesirkan baitbait kidung purba
Senja dan matahari tua, bersama-sama melahirkan kilau jingga; tempat aku menitip puisi cinta
aku menjumpai pagi berhujan, tarian kabut lindap di sela lerai daundaun pinus basah, berguguran serupa tangis bidadari pemungut mimpi
Dan juntai embun di pucuk daun kastuba adalah senyummu, berlabur doa; tabah merenda asa
Pagi adalah pekik hening kerinduan yang mendaras cahaya bagi terang doadoa
Pagi adalah keanggunan gununggunung mencumbui pepucuk ilalang, mendesirkan beribu harapan
Sebuah pagi, harum aroma bunga pohonpohon kopi, seputih doa kasih yang dilansir bumi untuk kita nikmati
Aroma pagi adalah wangi yang menguar dari basah tanah; sekelumit doa tentang syukur yang demikian megah
Adalah kau, lengking angin yang menyuarakan denting, tempat aku merumahkan segala ingin
Lalu kesiur angin barat mengabarkan kelabu yang kian menggurat, serupa kesedihan yang begitu berat
Sesaat sebelum angin lelap aku ingin menitipkan larik-larik doa dalam parade sunyi yang mengiring kepergian angin musim semi
kita selalu menunggu, hujan datang di sepi beranda, meluruhkan debudebu luka
kamukah itu, kekasihku, perempuan yang termangu menunggu senja luruh di pangkuan waktu
kita menyimak setiap rinai hujan sebagai serenada kenangan, melangitkan khayalan tentang kerinduan masamasa silam
maka di sinilah kita, di sudut kota, menyesap hujan yang meriuh di lembah-lembah kenangan; melarungkan segenap perih luka
Pagi berselimut kabut dan bulir-bulir embun yang bersemayam di pepucuk daun; seperti itulah Tuhan menyayangimu dengan santun
Di bawah langit pagi kotamu aku menyusur sepi perjalanan; mencoba melepas peluk kenangan
Di pagi yang berbeda kita selalu mengulang hal yang sama; berbagi secangkir kenangan pada meja perjamuan.
Komentar
Posting Komentar